Limbah pengolahan sawit ternyata bisa menghasilkan minyak mentah nabati. Peneliti dari Lembaga ilmu Pengetahuan Indonesia berinovasi untuk memproduksi alternative bahan bakar secara efisien.
Minyak fosil mentah (crude oil) merupakan biang atau bahan baku yang bisa diolah menjadi berbagai jenis bahan bakar, seperti minyak bensin, avtur, dan diesel. Beberapa waktu ini, riset di Indonesia sudah berhasil menciptakan minyak serupa yang terbuat dari limbah biomassa, khususnya dari tandan kosong kelapa sawit.
Selain dari tandan kosong kelapa sawit yang rutin dihasilkan dalam setiap pemanenan dan pemrosesan buah sawit menjadi minyak sawit (CPO), bio-crude oil (minyak mentah nabati) atau green crude oil ini juga bisa dihasilkan dari bagian-bagian lain kelapa sawit. Contohnya adalah batang pohon, pelepah daun, serat, dan cangkang.
Batang pohon dan pelepah daun ini akan banyak dihasilkan dalam tahun-tahun ini. Ini karena sebagian sawit di Indonesia sudah diremajakan karena telah berusia lebih dari 20 tahun. Upaya untuk meningkatkan produktivitas hasil panen melalui peremajaan ini biasanya menghasilkan batang sawit.
Upaya konvensional untuk ”melenyapkan” batang ini dilakukan dengan memendamnya di tanah dengan harapan bisa berubah menjadi pupuk. Namun, menurut beberapa kejadian, hal ini malah menimbulkan hama atau penyakit.
Daripada dipendam, inovasi peneliti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, batang kayu ini juga bisa dimanfaatkan untuk pembuatan tripleks. Meski telah lama dihasilkan, inovasi ini akan dipamerkan di Eropa untuk ”melawan” kebijakan Uni Eropa yang tak menerima minyak sawit Indonesia sebagai energi terbarukan karena tidak ramah lingkungan.
Inovasi yang relatif baru dikembangkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan mengubah biomassa seperti ini menjadi green crude oil. Nino Rinaldi, peneliti Pusat Penelitian Kimia LIPI, mengerjakan inovasi ini sejak tahun 2011 dan sekitar tahun 2014 didapatkan pembuatan bio-hidrokarbon tersebut.
Ia masih terfokus pada tandan kosong kelapa sawit (TKKS) karena limbah ini umumnya hanya dibiarkan begitu saja meski beberapa inovasi lain juga mengubahnya jadi pelet atau pupuk kompos. Nino menawarkan pemrosesan limbah padat TKKS menjadi minyak nabati atau minyak mentah nabati.
Nino menjelaskan, pengubahan biomassa menjadi minyak mentah nabati ini memakai metode pirolisis atau proses termokimia yang mengubah biomassa dalam hal ini TKKS menjadi karbon padat (arang), cairan (bio-crude oil), dan gas dengan pemanasan tanpa oksigen. Sekadar informasi, koleganya sesama peneliti di Puslit Kimia LIPI memanfaatkan limbah arang ini menjadi komposit bercampur logam besi dan diatom untuk mengefisienkan penyerapan senyawa pewarna pada limbah tekstil (Kompas, 2 Mei 2019).
Metode pirolisis
Dalam metode pirolisis, Nino memperlakukan limbah padat tersebut dengan ”pembakaran” hingga suhu 500 derajat celsius sehingga menghasilkan bio-crude oil. Pada proses ini, sejak tahun 2014, Nino bisa menggarap secara kontinu 500 gram TKKS dalam satu jam.
Prosesnya saat ini memiliki efisiensi 60 persen. Untuk bisa dikomersialkan, dibutuhkan efisiensi hingga 80 persen dan ini sedang terus diupayakan. Menurut dia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) memiliki peralatan lebih besar dalam proses ini yang bisa ”melahap” berton-ton TKKS menjadi minyak mentah nabati.
Terkait kritik banyak pihak bahwa proses pirolisis ini membutuhkan energi lebih besar dibandingkan sumber energi yang dihasilkan, Nino mengatakan, energi terbesar dari proses termal tersebut adalah pada awal pemanasan. ”Selanjutnya tidak perlu energi karena proses bakar biomassa sehingga hasilkan energi sendiri,” katanya.
Energi terbesar dari proses termal tersebut adalah pada awal pemanasan. Selanjutnya tidak perlu energi karena proses bakar biomassa sehingga hasilkan energi sendiri.
Ia pun mengatakan, pengubahan biomassa menjadi bio-hidrokarbon dengan metode pirolisis ini telah menjadi industri di Kanada dan Inggris. Bahkan, negara tetangga, Malaysia, ujarnya, juga telah membuatnya secara komersial.
Produk minyak nabati ini bisa langsung digunakan untuk bahan bakar genset ataupun boiler dalam berbagai industri, termasuk pabrik kelapa sawit. Namun, apabila diolah lebih lanjut, minyak mentah nabati, seperti halnya minyak mentah, bisa diubah menjadi aneka bahan bakar minyak, yaitu bensin, diesel, kerosin, dan avtur.
Namun, rantai hidrokarbon minyak mentah nabati, karena berasal dari biomassa, masih mengandung unsur oksigen amat tinggi, sekitar 37 persen. Kadar unsur oksigen tinggi ini mengakibatkan nilai kalor dari minyak mentah nabati rendah.
Bukankah oksigen itu mudah terbakar? Nino menyebutkan, oksigen pada bio-crude oil berikatan dengan rantai karbon, hidrogen, dan nitrogen, bukan unsur bebas yang mudah terbakar. ”Jadi, kalau mau dibakar, itu butuh energi lebih tinggi,” ungkapnya.
Pemurnian atau pengurangan hingga penghilangan oksigen ini membutuhkan katalis. Pencarian dan penggunaan katalis yang efisien ini sedang dikerjakan koleganya di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Dari sisi kelebihan minyak mentah nabati, kandungan sulfur atau belerang cukup rendah sehingga minim polusi udara. Akumulasi sulfur di atmosfer ini pula yang menjadi penyebab hujan asam yang merugikan apabila terkena elemen logam seperti otomotif dan bangunan.
Setelah mengalami deoksigenasi, minyak mentah nabati yang memiliki rantai polimer hidrokarbon sangat panjang dimasukkan dalam kilang. Rantai tersebut dipotong-potong sesuai fungsi bahan bakar, semisal rantai polimer hidrokarbon bensin pada rantai C8-C14, avtur C14-C16, dan diesel C16-C18.
Ia mengatakan, beberapa waktu lalu pihaknya serta sejumlah lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang meneliti sumber bahan bakar alternatif dari kelapa sawit diundang oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Para pihak mendapatkan tugas untuk mengembangkan alternatif-alternatif bahan bakar dari sawit.
LIPI dan BPPT kebagian tugas membuat bio-oil yang efisien. ITB merancang katalis. Bappenas menargetkan pada tahun 2024 bahan bakar alternatif ini bisa diproduksi.
Khusus pengolahan CPO menjadi biodiesel diserahkan kepada Pertamina dan ITB. Informasi ini pun terkonfirmasi dari pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan saat bertemu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 29 April 2019.
Ketika itu, mantan Dirut PT Kereta Api Indonesia tersebut menyatakan telah memandatkan Pertamina selama dua tahun ke depan untuk mengolah CPO menjadi 100 persen minyak diesel di Kilang Plaju dan Kilang Dumai. Kapasitasnya mencapai 200.000 barel per hari atau 15 persen total konsumsi nasional (Kompas, 30 April 2019).
Nino menyebutkan, minyak mentah nabati dari TKKS berpeluang untuk dimanfaatkan secara komersial di masa mendatang. Produksi TKKS bisa mencapai 4-5 ton per ha per tahun. Dengan luasan kebun kelapa sawit di Indonesia yang mencapai 15 juta hektar, di lapangan tersedia bahan baku pembuatan minyak mentah nabati sebanyak 60 juta-75 juta ton per tahun.
Oleh: ICHWAN SUSANTO
Kompas | Kompas.id | Senin, 13 Mei 2019 | Limbah Pengolahan Sawit Jadi Minyak Nabati